Muqaddimah 
Para pembaca yang sama dirahmati Allah, mulai edisi ini dan selanjutnya, in sya Allah diantara materi rubrik yang disampaikan akan memuat bahasan berlanjut yang diambil dari kumpulan hadits dalam buku “Umdatul Ahkaam Min Kalaami Khairil Anaam”.
Kitab “Umdatul Ahkaam” ini adalah buku yang dikarang oleh Syaikh Taqiyuddin Abu Muhammad Abdul Ghaniy Ibnu Abdil Waahid ibni Aliy al Maqdisiy al Hambali rahimahullah. Beliau lahir tahun 541 H, dan wafat tahu 600 H.
Tentang Beliau, imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata;

رحم الله الحافظ عبد الغني فقد كان نادراً في زمانه في الحديث وأسماء الرجال

“Semoga Allah merahmati al Hafidzh Abdul Ghaniy. Beliau adalah tokoh yang sangat mumpuni dalam bidang hadits dan perawinya. Jarang didapati tokoh sezamannya yang memiliki tingkat kredibilitas sama dengan Beliau.” .
Buku “Umdatul Ahkaam” ini adalah buku yang memuat hadits-hadits inti dalam masalah-masalah hukum fiqh. Hadits-hadits pilihan tersebut –sebagian besarnya- diambil dari hadits-hadits yang telah disepakati oleh imam Bukhari dan imam Muslim (Muttafaq ‘alaihi ). Selebihnya adalah hadits-hadits yang diriwayatkan secara bersendiri oleh imam Bukhari atau imam Muslim saja.
Karena muatannya yang berisi hadits-hadits inti yang shahih dan mencakup seluruh bahasan fiqh, maka kitab ini adalah satu dari kitab referensi yang sangat penting dan sangat istimewa. Belum lagi ditambah dengan pelajaran-pelajaran tarbawi yang in sya Allah akan didapatkan dari hadits-hadits tersebut berdasarkan penjelasan para ulama yang secara khusus mencurahkan potensinya untuk menjelaskan buku “Umdatul ahkaam ini”. Olehnya itu, maka jika seorang membaca kitab “Ad Dhaw al Laamie li ahli al Qarn at Taasi’e “, maka ia akan mendapati hampir seluruh ulama yang hidup pada masa itu (abad ke-9 H) menghafal Umdatul Ahkaam .
Perlu diketahui bahwa imam Abdul Ghaniy rahimahullah telah menulis dua buku “Umdatul ahkaam”; yang pertama “Umdatul ahkaam as shugra (kecil)” –yang tengah dibahas saat ini-, dan yang kedua adalah “Umdatul ahkaam al-kubra (besar)”. “Umdatul ahkaam as shugra” terdiri dari 420 hadits, yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan imam Muslim. Sedangkan kitab “Umdatul ahkaam al-kubra” terdiri dari 949 hadits, yang diriwayatkan tidak saja oleh imam Bukhari dan imam Muslim .
 
Hadits I

عن عمر بن الخطاب – رضي الله عنه – قال: سمعت رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يقول: ((إنما الأعمال بالنيات – وفي رواية: بالنية – وإنما لكلِّ امرئ ما نوى؛ فمَن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرتُه إلى الله ورسوله، ومَن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها أو امرأة يتزوَّجها فهجرته إلى ما هاجَر إليه)) .

Dari Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu, Beliau berkata; saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; “Semua amalan itu ada karena niat. Dan setiap orang akan mendapat balasan dari perbuatannya sesuai dengan niatnya masing-masing. Maka barangsiapa hijrah karena Allah dan Rasul Nya, maka hijrahnya itu akan dinilai sebagai sebuah ketaatan kepada Allah dan Rasul Nya. Dan barangsiapa hijrah karena dunia yang hendak diraihnya atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka ia akan mendapat sesuai yang diniatkannya saja.”.
 
🔘 Perawi Hadits
Hadits ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam disampaikan oleh sahabat bernama Umar bin al Khatthaab radhiyallahu ‘anhu. Kunyah Beliau adalah Abu Hafshin, sedang laqab Beliau adalah al Faaruuq.
Beliau memeluk Islam pada tahun ke-5 atau tahun ke-6 setelah diangkatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai nabi. Maka dengan keislaman Beliau –yang terkenal dengan keberaniannya- bertambah kokoh dan kuatlah barisan Islam.
Beliau adalah khalifah kedua setelah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, dengan penunjukan langsung dari Abu Bakar –khalifah pertama- sebelum wafatnya.
Beliau melaksanakan tugas kekhalifahannya secara baik, hingga akhirnya Beliau ditikam pada saat memimpin shalat subuh sebanyak 4 kali oleh seorang budak Majusi. Kejadian itu berlangsung pada 4 hari terakhir dari bulan Dzulhijjah.
Beliau sempat dirawat selama 3 hari. Dan pada akhirnya wafat pada tahun ke-23 H. Kemudian Beliau dikubur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu di bilik Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Disebutkan dalam shahih Bukhari, menjelang wafatnya, seorang pemuda datang menjenguknya dan berkata;

أَبْشِرْ يَا أَمِيرَ المُؤْمِنِينَ بِبُشْرَى اللَّهِ لَكَ، مِنْ صُحْبَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَقَدَمٍ فِي الإِسْلاَمِ مَا قَدْ عَلِمْتَ، ثُمَّ وَلِيتَ فَعَدَلْتَ، ثُمَّ شَهَادَةٌ

“Bergembiralah wahai Amirul mukimin dengan janji Allah kepadamu; karena Engkau telah menyertai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah memeluk Islam di awal-awal dakwah Beliau, telah menjadi pemimpin yang adil, dan kemudian meraih syahid.”. Setelah itu, Sang pemuda berlalu. Namun sebelum berlalu ternyata Umar radhiyallahu ‘anhu sempat melihat pakaian Sang pemuda yang menjulur hingga ke bawah mata kaki. Saat itu, Beliau segera meminta orang-orang yang berada di dekatnya untuk memanggil Sang pemuda. Setelah datang, Umar radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Sang pemuda;

يَا ابْنَ أَخِي ارْفَعْ ثَوْبَكَ، فَإِنَّهُ أَبْقَى لِثَوْبِكَ، وَأَتْقَى لِرَبِّكَ

“Wahai anak muda, angkatlah pakaianmu (ke atas mata kaki) !. Sesungguhnya itu lebih bersih bagi pakaianmu dan lebih menunjukkan ketakwaan kepada Rabb mu.” .
Demikianlah Umar bin Khtthaab , tidak sedikitpun celah kebaikan yang bisa dilakukannya, melainkan Beliau akan berusaha melakukannya. Bahkan meski dalam masa-masa kritis Beliau, menjelang wafatnya. Semoga Allah senantiasa merahmati Beliau dan menguatkan kita untuk dapat meneladaninya.
 
🔘 Urgensi Hadits
Hadits ini adalah satu diantara hadits yang memuat inti dari seluruh ajaran Islam. Sebagian ulama ada yang berkata bahwa inti dari keseluruhan syari’at Islam itu ada pada dua hadits, yaitu; hadits ini dan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha , dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ;

من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد

“Barangsiapa mengamalkan sebuah pekerjaan ibadah yang tidak dicontohkan, maka sungguh amalannya tersebut akanlah tertolak.”. Bila hadits pertama mewakili perkara-perkara bathin (hati), maka hadits kedua adalah landasan bagi perkara-perkara yang sifatnya dzhahir (nampak). Olehnya, maka sebagian ulama menyatakan bahwa inti dari keseluruhan agama ini terletak pada dua hadits tersebut .
Ada juga yang menyatakan bahwa hadits ini sepertiga agama atau seperempat agama. Dalam sebuah pernyataan yang disandarkan kepada Imam Syafi’ie, Beliau rahimahullah berkata;

هَذَا الْحَدِيث ثُلُث الْعِلْمِ، وَيَدْخُلُ فِي سَبْعِينَ بَابًا مِنَ الْفِقْه

“Hadits ini adalah sepertiga ilmu dan masuk ke 70 bab dalam pembahasan fiqh.” . Ishaq bin Rahawayh rahimahullah berkata; “Empat hadits yang memuat inti agama adalah, … kemudian Beliau menyebutkan hadits ini sebagai satu diantara keempat hadits tersebut.” .
Namun apapun yang dinyatakan oleh para ulama berkenaan dengan hadits ini, pesan utama yang hendak disampaikan bahwa hadits ini adalah satu diantara hadits inti yang seharusnya diketahui oleh setiap muslim.
 
🔘 Jalur Riwayat Hadits
Hadits ini (selanjutnya diistilahkan dengan sebutan hadits niat) adalah satu diantara contoh hadits “gharib”. Perlu diketahui bahwa hadits ditinjau dari banyaknya jumlah perawi yang meriwayatkannya pada setiap thabaqah (tingkatan periwayatannya), secara umum dibagi menjadi 2 bagian, yaitu;
1. Hadits mutawaatir, yaitu hadits tentang perkara yang terdengar atau terlihat (mahsuus), dan diriwayatkan oleh banyak perawi pada setiap tingkatan periwayatannya, hingga secara logika akan mustahil mereka bersepakat dalam kedustaan.
2. Hadits ahad, yaitu hadits yang jumlah periwayatnya pada setiap tingkatan periwayatannya tidak mencapai jumlah mutawatir.
Selanjutnya, oleh para ulama, hadits ahad dibagi lagi menjadi 3 bagian, yaitu;
a. Hadits gharib, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh hanya satu orang perawi pada satu atau lebih dari tingkatan periwayatannya.
b. Hadits aziz, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh hanya dua orang perawi pada satu atau lebih dari tingkatan periwayatannya.
c. Hadits masyhur, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh hanya tiga orang perawi pada satu atau lebih dari tingkatan periwayatannya.
Hadits niat ini, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya diriwayatkan oleh Umar bin Khatthab. Dari Umar bin Khatthab hanya diriwayatkan oleh ‘Alqamah bin Waqqash. Dari ‘Alqamah hanya diriwayatkan oleh Muhammad bin Ibrahim at Taymiy. Dan dari Muhammad bin Ibrahim hanya diriwayatkan oleh Yahya bin Sa’id al Anshari. Barulah pada tingkatan (thabaqah) ini, hadits tersebut diriwayatkan oleh banyak perawi, dari Yahya bin Sa’id al Anshari. Ada yang menyatakan bahwa jumlah perawi yang meriwayatkan hadits ini dari Yahya mencapai 70 orang, bahkan ada yang menyatakan lebih dari 200 orang.
Namun meski hadits ini adalah hadits gharib dari Rasulullah hingga Yahya bin Sa’id, ulama telah sepakat tentang validitasnya bahkan menjadikannya sebagai satu diantara hadits yang memuat pilar-pilar inti keberagamaan –sebagaimana telah dijelaskan pada rubrik sebelumnya-.
 
🔘 Tidak Ada Amal Tanpa Niat
Mengawali hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;

إنما الأعمال بالنيات – وفي رواية: بالنية

“Semua amalan itu ada karena niat.”. Tentu jika orang yang melakukan amalan tersebut melakukannya dalam keadaan sadar. Terhadap merekalah dinyatakan bahwa “tidak ada amal tanpa niat” atau “setiap amal / pekerjaan pasti diiringi dengan niat pelakunya”.
Dari potongan hadits ini diketahui bahwa niat itu adalah pekerjaan hati dan bukan pekerjaan lisan.
Seorang yang dipaksa mengatakan perkataan kufur tidaklah akan dinyatakan kafir selama ia tidak meniatkannya. Sebaliknya, meski seorang munafik bersyahadat dihadapan ribuan orang, tetaplah ia akan dinyatakan kafir karena niatnya yang tidak tulus.
Olehnya itu, maka maksud dari pernyataan para ulama “niat adalah syarat sahnya shalat atau ibadah yang lainnya” adalah niat yang timbul dari hati mengawali sebuah ibadah. Bukan niat yang diucapkan dengan lisan.
Mendulang Pahala Dengan Niat
Niat adalah kehendak hati untuk melakukan atau mengatakan sesuatu. Meski belum melakukan atau mengatakannya, seorang akan mendapat balasan dengan niatnya. Karena itu maka ulama berkata; “niat seorang mukmin lebih baik dari amalannya.”. Imam Baihaqi rahimahullah berkata;

النِّيَّةُ دُونَ الْعَمَلِ قَدْ تَكُونُ طَاعَةً، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” مَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كُتِبَتْ لَهُ حَسَنَةً “، قَالُوا: وَالْعَمَلُ دُونَ النِّيَّةِ لَا يَكُونُ طَاعَة

“Niat yang tidak dibarengi dengan amal mungkin saja menjadi sebuah ketaatan. Rasulullah bersabda; “Barangsiapa yang hendak melakukan kebaikan dan belum sempat melaksanakannya, maka akan dicatat baginya satu kebaikan.”. Adapun amal, jika tidak dibarengi dengan niat, maka tidaklah akan menjadi sebuah ketaatan.” .
Dalam kelanjutan hadits niat ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;

وإنما لكلِّ امرئ ما نوى

“Dan setiap orang akan mendapat balasan dari perbuatannya sesuai dengan niatnya masing-masing.”. Maksudnya bahwa jika seorang meniatkan yang baik dari amalannya, maka ia akan mendapat kebaikan dan pahala. Tetapi jika ia meniatkan keburukan dari amalannya, maka ia akan mendapat keburukan. Maka dari itu, seorang mukmin yang baik tentu akan berusaha memanfaatkan usianya untuk mendulang pahala sebanyak-banyaknya. Satu diantara caranya adalah dengan senantiasa menjaga niat dalam seluruh amalan yang dilakukannya, bahkan meski amalan itu adalah amalan yang mubah. Ibnu al Mubaarak berkata;

رُبَّ عَمَلٍ صَغِيرٍ تُعَظِّمُهُ النِّيَّةُ، وَرُبَّ عَمَلٍ كَبِيرٍ تُصَغِّرُهُ النِّيَّةُ

“Betapa banyak amal yang sederhana menjadi besar karena niat. Dan betapa banyak amal yang besar menjadi kecil karena niat pelakunya.” .
Dalam kelanjutan hadits niat ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;

فمَن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرتُه إلى الله ورسوله، ومَن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها أو امرأة يتزوَّجها فهجرته إلى ما هاجَر إليه

“Barangsiapa hijrah karena Allah dan Rasul Nya, maka hijrahnya itu akan dinilai sebagai sebuah ketaatan kepada Allah dan Rasul Nya. Dan barangsiapa hijrah karena dunia yang hendak diraihnya atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka ia akan mendapat sesuai yang diniatkannya saja.”. Maka bertolak dari hadits ini, hendaknya dibuat sebuah kerangka umum kehidupan;
*) Barangsiapa shalat untuk Allah
*) Barangsiapa belajar untuk ibadah kepada Allah
*) Barangsiapa berikhtiar untuk memuluskan jalannya beribadah kepada Allah
*) Barangsiapa makan, minum dan tidur untuk mempekuat dirinya melakukan ketaatan ; … maka seluruh amalannya itu akan dinilai sebagai ibadah dan mendapat pahala dari Allah. Namun,
*) Barangsiapa shalat untuk mendapat pujian orang
*) Barangsiapa belajar hanya untuk menjadi cerdas
*) Barangsiapa berikhtiar untuk mendapat penghasilan yang lebih
*) Barangsiapa makan, minum dan tidur agar kenyang, dahaga terobati dan rasa kantuk teratasi ; … maka -jika beruntung- ia hanya akan mendapat sebatas yang diniatkannya itu. Dan jika Allah menghendakinya tidak mendapatkan niatannya itu, maka dunia meleset dan pahala pun sirna darinya. Wallahul musta’an
 
🔘 Fungsi Niat
Niat adalah satu diantara jenis ibadah. Fungsi niat ada dua yaitu;
a. Untuk membedakan antara kebiasaan dan ibadah
b. Untuk membedakan satu jenis ibadah dengan jenis ibadah yang lain.
Di hari senin, ada dua orang berpuasa; satu diantaranya berpuasa untuk diet dan yang lain berpuasa sunnah. Apa yang membedakannya ?.
Di hari yang sama, ada dua orang lain yang juga berpuasa; satu diantaranya berpuasa sunnah dan yang lain berpuasa qadha Ramadhan yang telah ditinggalkannya karena sakit. Apa yang membedakannya ?.
Jawaban dari keduanya adalah niat. Demikianlah fungsi niat, selain bahwa niat adalah syarat sahnya sebuah amalan sebagai ibadah kepada Allah; fungsi niat juga adalah untuk membedakan satu jenis ibadah dengan jenis ibadah yang lain.
 
🔘 Tips Mengajar
Dalam hadits niat ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberi tips cerdas kepada ummat dalam mengajar. Ketika menjelaskan urgensi niat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai dengan penjelasan yang bersifat global, yang berfungsi untuk membentuk dasar pijakan dan landasan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
1. Tidak ada amal tanpa niat
2. Setiap orang akan diberi balasan dari amalannya sesuai dengan niatnya.
Demikian dua landasan dasar yang hendak dipahamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ummatnya. Setelah itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memperkuatnya dengan memaparkan sebuah contoh, yang tentunya diharapkan akan dapat diterapkan dalam berbagai permasalahan yang serupa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;

فمَن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرتُه إلى الله ورسوله، ومَن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها أو امرأة يتزوَّجها فهجرته إلى ما هاجَر إليه

“Barangsiapa hijrah karena Allah dan Rasul Nya, maka hijrahnya itu akan dinilai sebagai sebuah ketaatan kepada Allah dan Rasul Nya. Dan barangsiapa hijrah karena dunia yang hendak diraihnya atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka ia akan mendapat sesuai yang diniatkannya saja.”.
“Mulailah dengan memperkuat pemahaman dasar sebelum mulai merinci dan mempeluas masalah”, demikian ini tips cerdas yang hendak diajarkan Rasulullah lewat hadits yang mulia ini. Dari sinilah diketahui kesalahan mendasar yang menjadi fenomena pada sebagian penuntut ilmu; mereka mulai proses belajarnya dengan menelaah berbagai masalah rumit yang diperdebatkan, dan mereka enggan serta tidak sabar untuk memperkuat dasar keilmuwannya. Hingga pada akhirnya mereka akan dibuat bingung dengan berbagai dalil yang secara kasat mata bertentangan, hal mana keadaan itu tidak akan mereka alami jika seandainya landasan keilmuwan mereka baik dan kuat.
 
🔘 Hijrah dan Perubahan
Hijrah yang disebutkan dalam hadits ini adalah satu diantara jenis ibadah. Orang yang berhijrah tentu akan berpindah dari suatu keadaan kepada keadaan yang lain. Ketika berpindah, tentu ada saja berbagai perubahan yang secara kasat mata dapat dirasakan dan diamati. Olehnya, hijrah dan perubahan adalah dua hal yang akan selalu identik dan bersinergi.
Dalam kacamata Islam, hijrah itu ada dua, yaitu;
1. Berpindah dari suatu tempat yang tidak memberi keleluasaan bagi seorang untuk beribadah kepada Allah menuju suatu tempat yang lebih memberi keleluasaan untuk beribadah kepada Allah.
2. Berpindah dan meninggalkan sebuah kebiasaan buruk dan beralih kepada perbuatan-perbuatan yang baik dan terpuji.
Maksud dari kedua jenis hijrah ini adalah agar terjadi perubahan positif atas diri seseorang dalam keberagamaannya. Karena itu, maka landasan dasar dalam melakukannya hendaknya untuk mendapatkan ridha Allah. Bila ia salah dalam meletakkan landasan dasar ini, maka tentu akan rapuhlah bangunan yang dibuatnya, bahkan mungkin akan ambruk dan menjadi debu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;

فمَن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرتُه إلى الله ورسوله، ومَن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها أو امرأة يتزوَّجها فهجرته إلى ما هاجَر إليه

“Barangsiapa hijrah karena Allah dan Rasul Nya, maka hijrahnya itu akan dinilai sebagai sebuah ketaatan kepada Allah dan Rasul Nya. Dan barangsiapa hijrah karena dunia yang hendak diraihnya atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka ia akan mendapat sesuai yang diniatkannya saja.”.
 
🔘 Dunia Oh Dunia …
Dunia adalah tempat yang Allah jadikan bagi hamba untuk menguji mereka; siapa diantara mereka yang terbaik amalannya. Selayaknya, semakin tua usia sesuatu, maka akan semakin sedikit yang menggemarinya. Namun ternyata, hal ini tidak berlaku untuk dunia. Justru semakin dekat hari kehancurannya, semakin itu pula orang-orang bertambah rakus untuk meraihnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika ditanya tentang tanda-tanda hari kiamat;

أَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُونَ فِي الْبُنْيَانِ

“Engkau melihat orang-orang yang tadinya sangat miskin, pengembala kambing, tidak mengenakan baju dan tidak berpengalas kaki, -ketika itu- mereka berlomba-lomba memegahkan bangunan-bangunannya.” .
Dunia adalah fitnah. Banyak orang mengeluh ketika kemiskinan menghampiri mereka, bahkan tidak sedikit diantaranya yang mungkin menilainya sebagai musibah terbesar dalam hidupnya. Hanya mereka lupa atau mungkin tidak tahu bahwa ternyata fitnah yang ditakuti oleh Rasulullah menimpa ummatnya bukanlah kemiskinan, tetapi justru ketika kemegahan dunia telah menghiasi kehidupan mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;

وَاللَّهِ لاَ الفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ، وَلَكِنْ أَخَشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ

“Demi Allah tidaklah aku khawatir akan kemiskinan yang menimpamu. Namun yang aku khawatirkan adalah ketika dunia dibentangkan atas kalian sebagaimana dibentangkan kepada orang-orang sebelum kalian. Lantas kalian pun berlomba-lomba untuk meraihnya, sebagaimana orang-orang sebelum kalian berlomba-lomba untuk meraihnya. Kemudian kalian pun hancur karenanya, sebagaimana merekapun hancur karenanya.” .
Dunia, meskipun sangat menggiurkan, namun ternyata tidaklah ia memiliki nilai yang luar biasa di dalam agama. Olehnya, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan balasan yang akan didapatkan oleh orang yang berhijrah karena dunia yang hendak diraihnya atau karena wanita yang hendak dinikahinya, tidaklah Beliau mengatakan; “maka ia akan mendapatkan dunia yang hendak diraihnya itu atau mendapatkan wanita yang hendak dinikahinya itu.”. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya bersabda; “maka ia akan mendapat sesuai yang diniatkannya saja.”. Tidak diulanginya penyebutan dunia dan wanita dalam jawaban tadi memberi isyarat bahwa keduanya bukanlah hal yang penting untuk disebutkan. Berbeda ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan balasan yang akan diperoleh oleh mereka yang berhijrah karena Allah dan Rasul Nya, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maka hijrahnya itu akan dinilai sebagai sebuah ketaatan kepada Allah dan Rasul Nya.”. Pengulangan kata Allah dan RasulNya dalam jawaban tadi mengisyaratkan kemuliaan yang dimiliki oleh keduanya.
Akhirnya, semoga Allah memberi taufiq Nya kepada kita agar tetap dapat lurus dalam niat-niat kita; dan semoga Ia senantiasa menjaga kita dari segala fitnah, baik yang nampak maupun yang tersembunyi. Wa laa hawla wa laa quwwata illa billahil Aziizil Hamiid. Walhamdulillahi Rabbil ‘Aalamiin.