Allah ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa.”. (al Baqarah; 183)
Puasa Ramadhan,
Tidaklah tujuan dari ibadah mulia ini semata untuk mencetak manusia yang tahan lapar, tahan dahaga, dan tahan untuk tidak bercampur dengan istrinya dalam waktu tertentu.
Tidak demikian, namun tujuan dari ibadah yang mulia ini adalah untuk mencetak generasi-generasi bertakwa kepada Allah. Rasulullah –shallallahu ’alaihi wa sallam- bersabda :

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَه

“Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan yang tercela, niscaya Allah -ta’ala- tidaklah butuh terhadap puasa yang dilakukannya.”. (HR. Bukhari, no. 1770).
Rasulullah –shallallahu ’alaihi wa sallam- bersabda :

الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَإِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ صَائِمًا فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ فَإِنْ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ إِنِّي صَائِم

“Puasa itu adalah perisai (dari api neraka). Maka jika salah seorang dari kalian berpuasa, janganlah ia berkata-kata kotor dan janganlah pula berbuat yang tidak baik. Apabila ia diganggu atau dicela oleh orang lain, maka hendaklah ia berkata; ‘saya ini puasa, saya ini puasa’.”. (HR. Ahmad, no. 7780).
Hafshah radhiyallahu ‘anha berkata :

الصِّيَامُ جُنَّةٌ مَا لَمْ يَخْرِقْهَا صَاحِبُهَا، وَخَرْقُهَا الْغَيْبَةُ

“Puasa itu adalah perisai, selama pemakainya tidak merusak perisai yang dipakainya itu. Merusaknya –diantaranya- dengan ghibah.”. (Mushannaf Abdur Razzaq, 4/307)
Allah berfirman :

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”. (Al Baqarah: 184)
Diantara hukum-hukum Ramadhan,
Disebutkan dalam ayat ini, golongan yang boleh tidak berpuasa Ramadhan, dan kewajiban mereka sebagai pengganti dari puasa yang tidak dilakukannya adalah qadha (menggantinya di hari-hari lain di luar Ramadhan). Mereka itu adalah:

  1. Orang-orang yang tengah safar
  2. Orang-orang yang sakit

Allah berfirman :

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. (Al Baqarah; 184)
Diantara hukum-hukum Ramadhan,
Ayat ini berbicara tentang golongan kedua yang boleh tidak berpuasa Ramadhan, dan kewajiban mereka sebagai pengganti dari puasa yang tidak dilakukannya adalah membayar fidyah. Mereka itu adalah :

  1. Orang tua yang tidak lagi mampu berpuasa,
  2. Orang yang sakit menahun,
  3. Wanita hamil dan menyusui,

Orang yang memiliki profesi yang tidak memungkinkannya untuk berpuasa, sedang ia tidak memiliki pilihan profesi lain untuk menghidupi diri dan orang-orang yang berada dalam tanggungannya kecuali profesi yang tengah digelutinya itu.
Empat golongan ini, dibolehkan berbuka puasa di siang hari Ramadhan, dan sebagai ganti puasa yang ditinggalkannya itu, ia diwajibkan membayar fidyah kepada satu orang miskin sejumlah hari Ramadhan yang ditinggalkannya tersebut. (Fiqhu as Sunnah, oleh Sayyid Sabiq, 1/440-441)
Besaran fidyah yang diwajibkan atas mereka adalah sebagaimana pernyataan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu :

مُدًّا مِنْ حِنْطَةٍ

“Sejumlah satu mud (kurang lebih 600 gr makanan pokok).”. (Sunan Daraquthni, 3/178)
Allah berfirman :

فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Barangsiapa diantara kalian hadir di tempat mukimnya (tidak safar) pada bulan Ramadhan, maka wajiblah baginya untuk melaksanakan puasa.”. (Al Baqarah; 185)
Ayat ini berisi perintah untuk mengawali puasa, yaitu ketika bulan Ramadhan telah tiba yang ditandai dengan nampaknya hilal Ramadhan. Olehnya itu, maka hendaklah setiap muslim mengagungkan syiar ini, dan diantara bentuk pengagungan itu yaitu dengan melaksanakannya secara seragam dalam sebuah komunitas (Negara) dan tidak berpecah-belah. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :

صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ

“Puasa kalian adalah hari dimana kalian berpuasa, dan hari I’ed kalian adalah hari dimana orang-orang merayakan hari I’ed tersebut.”.  Abdullah bin Mas’ud –radhiyallahu ‘anhu- berkata :

الخلاف شر

“Perbedaan itu adalah hal yang tidak baik.”
Allah berfirman :

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”. (Al Baqarah; 186)
Hal menarik dari serangkaian ayat-ayat puasa (183-187) yaitu ketika Allah menyelipkan ayat yang berisi anjuran berdoa ini di sela ayat-ayat seputar hukum puasa tersebut.
Beberapa ulama berkata bahwa diselipkannya ayat doa ini di antara ayat-ayat yang secara khusus berkaitan dengan puasa Ramadhan memberi isyarat bahwa bulan Ramadhan ini adalah bulan doa, bulan yang di dalamnya Allah akan mengabulkan doa hamba-hamba-Nya yang ikhlas dan secara benar meminta kepada-Nya.
Allah berfirman :
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ اللّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.”. (Al Baqarah; 187)
Didalam ayat ini, Allah menginformasikan sedikitnya tiga hal :
1. Kewajiban berpuasa pada tiap hari di bulan Ramadhan dimulai ketika terbit fajar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan kita agar berniat di dalam hati pada setiap malam Ramadhan untuk berpuasa pada keesokan harinya. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :

مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ

“Barangsiapa tidak meniatkan puasa di malam hari sebelum terbitnya fajar, niscaya tidak ada puasa baginya.”. (HR. An Nasaai)
2. Akhir kewajiban berpuasa pada tiap hari di bulan Ramadhan yaitu ketika malam telah menyingsing yang ditandai dengan terbenamnya matahari.
3. Pembatal-pembatal puasa ada empat
Terdapat tiga pembatal yang disebutkan oleh Allah dalam ayat ini, yaitu; makan, minum dan berhubungan dengan sengaja; dan Rasulullah –shallallahu ’alaihi wa sallam- menambahkan satu lagi yaitu muntah dengan sengaja.
Demikianlah beberapa hukum berkenaan dengan puasa. Semoga Allah menjadikan puasa kita pada tahun ini lebih baik dari yang sebelumnya. Semoga Allah tidak menjadikan kita sebagaimana yang dikabarkan oleh Rasulullah –shallallahu ’alaihi wa sallam- :

رب صائم ليس له من صيامه إلا الجوع ورب قائم ليس له من قيامه إلا السهر

“Begitu banyak orang berpuasa, namun ia tidak mendapatkan apa pun dari puasanya melainkan lapar –semata-, dan begitu banyak orang yang berdiri melaksanakan shalat di malam hari, namun ia tidak mendapatkan apapun dari puasanya melainkan lelah belaka.”. (HR. Ibnu Majah)