Adapun jalan yang telah dibukakan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam adalah:
a. Menunjukkan kesalahan dengan pengarahan secara langsung.
Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Umar bin Abu Salamah radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Saya berada dalam asuhan Rasulullah Shallallahu alaihi wasllam . (Ketika makan) Tanganku berkeliaran di piring makanan. Lalu beliau bersabda, “(yang artinya) Hai anak muda, sebutlah nama Allah dan makanlah dengan tangan kananmu serta makanlah yang dekat denganmu!” Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menunjukkan kesalahan Umar bin Abu Salamah t dengan memberinya nasehat yang baik dan pengarahan yang ringkas serta sederhana, namun tepat mengenai sasaran.
b. Menunjukkan kesalahan dengan cara yang halus.
Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Sa’d t, bahwa Rasulullah pernah disajikan minuman, beliau meminum sebagiannya. Sementara di samping beliau ada seorang anak muda, dan di sebelah kanan beliau ada beberapa orang tua. Beliau bertanya kepada anak muda itu, “Apakah engkau mengizinkan aku memberikan minuman ini kepada orang-orang ini?”. Anak muda itu menjawab, ‘Tidak demi Allah. Saya tidak ingin mementingkan orang lain selain dirimu dari bagianku.”.
Maka beliau meletakkan gelas minuman di tangannya. Anak muda itu adalah Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Menurut pengamatan saya, beliau hendak mengajarkan kepada anak muda itu adab di hadapan orang-orang tua, dengan mendahulukan mereka tatkala mereka minum. Ini lebih baik. Untuk itu beliau meminta izin kepadanya dan secara halus beliau bertanya, “Apakah engkau mengizinkan aku memberikan minuman ini kepada orang-orang itu?”
c. Menunjukkan kesalahan dengan isyarat.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Suatu kali Al-Fadhl (bin Abbas) dibonceng kepada Rasulullah r. Lalu ada seorang wanita dari Khats’am. Al-Fadhl memandang wanita itu dan wanita itu memandangnya, maka Rasulullah r memalingkan muka Al-Fadhl ke arah lain.
Menurut pengamatan saya, beliau memberikan solusi pandangan mata kepada wanita bukan mahram dengan memalingkan muka ke arah lain, dan ternyata hal itu sangat berpengaruh kepada Al-Fadhl.
d. Menunjukkan kesalahan dengan hardikan.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Dzarr , dia berkata, “Saya pernah mencaci seorang laki-laki dan mengaitkannya dengan ibunya dengan mengatakan, “Wahai anak orang hitam!.”
Rasulullah r pun berkata: “Wahai Abu Dzarr, apakah engkau menjelek-jelekkan ibunya? Sesungguhnya di dalam hatimu ada sifat kejahiliyahan. Saudara-saudara kalian adalah pelayan kalian. Allah menjadikan mereka di bawah asuhan kalian. Barangsiapa ada saudaranya berada di bawah asuhannya, maka hendaklah dia memberinya makan seperti apa yang dia makan, memberinya pakaian seperti yang dia kenakan, dan janganlah membebani mereka dengan dengan suatu pekerjaan di luar kesanggupan mereka. Jika kalian membebani mereka hendaklah kalian membantu mereka.”
Menurut pengamatan saya, beliau memberikan solusi dari dari kesalahan Abu Dzarr tatkala mencela seorang laki-laki berkulit hitam dengan hardikan secara langsung. Kemudian beliau menasehatinya sesuai dengan keadaan yang ada.
e. Menunjukkan kesalahan dengan menjauhi orang yang melakukan kesalahan tersebut.
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Sa’id t, dia berkata: “Rasulullah r melarang melempar dengan ibu jari dan telunjuk. Beliau bersabda, “Karena hal itu tidak bisa membunuh binatang buruan dan tidak bisa melukai musuh. Lemparan itu hanya mencongkel mata dan merontokkan gigi.”
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa kerabat Ibnu Mughaffil melempar dengan menggunakan ibu jari dan telunjuk. Lalu dia melarangnya seraya berkata, “Sesungguhnya Rasulullah r melarang lemparan seperti itu dan bersabda, “Lemparan itu tidak bisa membunuh binatang buruan.” Kemudian kerabatnya itu mengulanginya lagi. Ibnu Mughaffil berkata, ‘Kukatakan sekali lagi, Rasulullah r melarang hal ini. Tapi mengapa engkau mengulanginya, saya tidak mau lagi berbicara denganmu.”
Al-Bukhari meriwayatkan, bahwa tatkala Ka’ab bin Malik (bersama dua temannya) menolak perintah nabi r untuk bergabung dalam perang Tabuk, maka dia berkata, “Beliau melarang (orang lain) berbicara dengan kami dan beliau menyebutkan selama lima puluh hari.” Hingga akhirnya Allah menurunkan ayat tentang taubat mereka.
Menurut pengamatan saya, beliau dan para sahabat menerapkan hukuman isolasi untuk membenahi kesalahan dan meluruskan penyimpangan, sehingga orang yang menyimpang kembali lagi ke jalan kebenaran.
f. Menunjukkan kesalahan dengan menggunakan pukulan
Abu Dawud dan Al-Hakim meriwayatkan dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah r bersabda, “Perintahkanlah anak-anak kalian mengerjakan shalat sedang mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka karena shalat itu selagi mereka berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka.”
Dalam surat An-Nisa’ disebutkan
“Wanita-wanita yang dikhawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah diri mereka dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk enyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (An-Nisa’:34)
Menurut pengamatan saya, hukuman pukulan merupakan ketatapan Islam, yang merupakan tahapan terakhir setelah pemberian nasehat dan isolasi. Ini merupakan urutan-urutan yang memberikan pengertian kepada pendidik, bahwa tidak boleh langsung menggunkan cara yang paling keras jika cara yang sederhana dan ringan sudah efektif. Pukulan merupakan hukuman terakhir dan tidak boleh langsung menggunakannya kecuali setelah tidak ada harapan menggunakan cara-cara lain untuk membenahi.
Tetapi tatkala Islam menetapkan hukuman pukulan, maka hukuman ini berurutan sebagai berikut:
- Pendidik tidak boleh langsung menggunakan pukulan sebelum menggunakan cara-cara hukuman yang lain dan ancaman.
- Tidak boleh memukul tatkala amarah sedang memuncak, karena dikhawatirkan akan membahayakan anak.
- Tidak boleh memukul bagian-bagian yang rawan, seperti kepala, wajah, dada dan perut, yang didasarkan kepada sabda Rasulullah , (yang Artinya) ”Janganlah memukul wajah!” Sebab wajah merupakan pusat indera, sehingga jika pukulan mengenai wajah, dikhawatirkan bisa merusak fungsi indera, sehingga pukulan itu bisa menyakitinya. Pukulan pada bagian dada dan perut juga dilarang, Karena pukulan pada bagian ini bisa membawa kematian. Larangan ini masuk dalam keumuman sabda beliau , “Tidak ada yang membahayakan diri sendiri dan orang lain.” Pukulan pada kali pertama tidak boleh keras dan menyakitkan, bisa pada bagian kaki atau tangan, dengan menggunakan tongkat yang kecil. Jika kesalahan baru pertama kali dilakukan anak, maka dia diberi kesempatan untuk bertaubat dan kesalahannya dimaafkan, memberinya kesempatan untuk bergaul dengan orang-orang yang bisa memberi pengarahan kepadanya sambil meminta
- Pendidik sendiri yang harus memukul anak dan tidak boleh mewakilkannya kepada orang lain, seperti kepada saudaranya atau temannya, agar tidak ada percikan dendam dan perselisihan di antara mereka.
g. Menunjukkan kesalahan dengan ancaman yang keras.
Allah Ta’ala berfirman,
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah, jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.” (An-Nuur: 2).
Arah hukuman ini, jika hukuman dilaksanakan di muka umum dan disaksikan anggota masyarakat, maka benar-benar akan menjadi pelajaran yang paling pas dan merupakan peringatan yang amat kuat. Berangkat dari tatanan Al-Qur’an ini (Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman), nabi r memerintahkan para sahabatnya untuk melaksanakan hukuman pelanggaran hukum syari’at yang sudah jelas di hadapan orang-orang, disaksikan dan didengar semua orang. Ada pepatah lama mengatakan, “Orang yang berbahagia ialah jika bisa mengambil pelajaran dari orang lain.”
Tidak dapat diragukan , tatkala seorang pendidik menghukum anak yang melakukan suatu kesalahan di hadapan saudara-saudara dan teman-temannya, maka hukuman ini akan meninggalkan bekas yang mendalam di dalam diri anak-anak itu, sehingga mereka harus berpikir seribu kali untuk melakukan tindak kejahatan , karena mereka juga akan menerima hukuman serupa. Dengan begitu mereka bisa mengambil pelajaran dan pengalaman darinya.
Berangkat dari cara-cara yang diletakkan pengajar pertama ini, seorang pendidik bisa memilih mana cara yang paling tepat untuk mendidik anak dan membenahi penyimpangannya. Sebab adakalanya solusinya cukup hanya dengan ancaman yang keras, pandangan mata yang menusuk tajam atau halus, atau dengan menggunakan isyarat atau hardikan.
Jika pendidik tahu bahwa pengungkapan kesalahan dengan menggunakan salah satu di antara cara-cara ini tidak efektif untuk memperbaiki anak, maka dia bisa meningkat ke cara berikutnya yang lebih keras, yaitu hardikan. Jika hasilnya nihil, dia bisa menggunakan pukulan yang tidak menyakitkan. Ada baiknya hukuman yang terakhir ini dilakukan di hadapan para keluarga atau teman-temannya, agar mereka juga bisa mengambil pelajaran.
Selagi anak merasa bahwa pendidik bersikap lemah lembut dan mengasihaninya setelah memberikan hukuman, tindakannya itu dilakukan karena hendak menjadikannnya orang yang baik, maka dia juga tidak boleh menyimpang lagi dan harus introspeksi diri atas kekurangan pada dirinya. Ada baiknya jika kemudian dia bergaul dengan orang-orang yang baik dan bertaqwa, agar dia senantiasa berada dalam komunitas orang-orang yang baik.
Dari sini jelaslah bahwa pendidikan Islam sangat memperhatikan masalah hukuman, entah berupa hukuman spiritual maupun material. Hukuman yang diberikan juga tak lepas dari syarat dan batasan. Maka pendidik tidak boleh melanggarnya dan tidak boleh berlebih-lebihan, jika memang mereka menginginkan pendidikan yang ideal bagi anak-anak dan agar menjadi generasi yang baik.
Akhirnya, seorang pendidik tentunya tidak kehabisan akal dan sarana untuk memperingatkan anak dan memperbaikinya. Sarana-sarana seperti yang sudah dijelaskan di atas, merupakan saran yang paling penting dalam pendidikan. Di sini seorang pendidik harus pandai-pandai mempergunakannya dan memilih mana yang paling tepat. Tidak dapat diragukan bahwa sarana-sarana ini tidak bisa dianggap sama. Sebab ada di antara anak yang cukup hanya dengan isyarat dan hatinya sudah bergetar. Sebagian lain ada yang perlu menggunakan ancaman. Yang lain ada yang perlu menggunakan cara isolasi, hardikan, pukulan dengan tongkat.
Islam mensyari’atkan hukuman-hukuman ini dan menganjurkan para pendidik agar menggunakannya. Kita hanya perlu memilih mana yang dianggap tepat dan bisa memberikan kemaslahatan bagi anak.
Wallahu ‘alam. (Ummu Faqihah)
Maraji’:
Ensiklopedi Wanita Muslimah
Oleh: Haya Binti Mubarok Al-Barik