Zaman kenabian semakin jauh berlalu; ajaran agama sudah semakin usang bagi para pemeluknya. Sebaliknya, kemaksiatan, dengki, kepalsuan dan permusuhan semakin banyak merajalela. Anehnya, orang-orang menganggapnya sebagai sebuah kebenaran atau hal yang biasa-biasa saja.

Di era sekarang musik seakan telah menjadi bagian dari diri setiap orang. Hampir di setiap denyut kehidupan; nyanyian dan musik seakan sudah menjadi sebuah kebutuhan –primer- yang mesti terpenuhi. Rumah-rumah kecil di sudut desa yang terpencil-pun seakan tidak ingin ketinggalan. Segala daya upaya mereka kerahkan untuk membeli sebuah TV –meskipun sangat sederhana-, menyaksikan artis pujaan hati, mendendangkan sebuah tembang pujaan dengan liukan tubuh yang menghipnotis.

Ketika genderang telah ditabuh, tali-tali senar telah dipetik, seruling-seruling telah ditiup, lentik jari-jemari telah bermain di atas tombol-tombol piano, lantunan suara telah berkumandang dengan lantang; ketika itu kepala, kaki dan tangan pun mulai bergoyang; teriakan histeris mulai terdengar sahut menyahut; tidak perduli tua-muda, pria-wanita, pejabat atau rakyat biasa; seluruhnya ikut lebur dalam gempitanya alunan musik disertai kerlap-kerlip lampu.

Musik adalah sebuah kekuatan yang mampu mengundang orang untuk menyimaknya. Tidak perduli apakah lantunan musik tersebut diiringi dengan bait-bait lagu atau tidak; tidak perduli apakah bait-bait lagu tersebut dipahami atau tidak.

Mungkin hal itulah yang menyebabkan beberapa orang menggunakan musik sebagai sarana berdakwah (katanya …?!). Namun sebuah hal yang sungguh ironis, manakala metode ini berbuntut pada hal yang -justru- tidak dikehendaki.

Berapa banyak lagu bertemakan islam yang diiringi dengan musik dangdut diputar di tengah-tengah kerumunan orang yang sedang bermaksiat atau -justru- didendangkan oleh wanita-wanita yang hampir tidak berbusana dengan liukan tubuhnya yang begitu memikat ditengah kerumunan laki-laki yang tengah asyik meneguk minuman haram.

Adapula beberapa orang saudara kita yang menjadikannya seperti ibadah atau memang mereka meyakininya sebagai bagian dari rangkaian ibadah. Mereka menggubah lantunan doa ke dalam lirik-lirik lagu yang diiringi dengan musik. Terlihat, mereka begitu khusyu’ membawakannya. Terkadang untuk menggubah lantunan sebuah doa ke dalam lirik-lirik lagu diperlukan waktu berjam-jam, bahkan mungkin berhari-hari, belum lagi latihan vocal untuk membawakannya; suara satu, dua, tiga dan bermacam-macam suara …Lantas, beberapa pertanyaan-pun mulai terbetik dalam nurani;

*) Adakah orang-orang yang menggandrungi musik sebegitu jauhnya akan mampu memperlakukan Al-qur’an melebihi atau -minimal- sama dengan kegandrungannya dengan musik ?!

*) Ketika sebuah pertunjukan musik dengan karcis masuk seharga -minimal- Rp 50.000 bertepatan dengan sebuah acara pengajian yang gratis; pada majelis manakah ia akan hadir ?. Kemudian bagaimana jika -ternyata- untuk mengikuti acara pengajian-pun dipungut biaya yang sama?!.

*) Adakah seorang yang begitu sabar menggubah beberapa rangkaian kata menjadi sebuah lirik lagu dan menguasainya dengan pengusaan yang sangat mapan akan juga sanggup dengan sabar mempelajari Al-qur’an hingga menguasainya dengan penguasaan yang -juga- mapan?!.

*) Bagaimanakah pandangan islam terhadap nyanyian dan musik ?!

*) Mungkinkah nyanyian dan musik dijadikan sebagai sebuah ibadah ?!

Inilah beberapa pertanyaan yang kemudian mengusik jiwa dan nurani menghadapi fenomena sekarang, dimana –sekali lagi- musik –seakan- telah menjadi hal primer yang mesti ada dan terpenuhi.

Allah berfirman …

Beberapa ayat yang berkaitan dengan bahasan ini diantaranya;

A. Firman Allah ta’ala, surah Al-isra’; 64

وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ وَأَجْلِبْ عَلَيْهِمْ بِخَيْلِكَ وَرَجِلِكَ وَشَارِكْهُمْ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَولَادِ وَعِدْهُمْ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلَّا غُرُورًا(64)

“Dikatakan kepada syaithan; dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaitan kepada mereka melainkan tipuan belaka.”.

Tafsir ayat sehubungan dengan bahasan[1];

  1. Ibnu Abbas berkata menafsirkan firman Allah ta’ala; “ dengan ajakanmu ”;

كل داع دعا إلى معصية الله عز وجل“Seluruh seruan yang mengajak manusia kepada maksiat pada Allah ta’ala.”.

  1. Mujahid berkata; maksud dari firman Allah ta’ala; “ dengan ajakanmu ”;

اللهو والغناء “Hal yang sia-sia dan nyanyian (diiringi dengan music).”.

B. Firman Allah ta’ala, surah Al-furqan; 72

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا(72)

“Dan orang-orang yang tidak menyaksikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.”.

Tafsir ayat sehubungan dengan bahasan[2];

Beberapa ahli tafsir berkata, menafsirkan firman Allah ta’ala; “menyaksikan persaksian palsu ”;

  1. الشرك وعبادة الأصنام

“Menyaksikan dan melakukan kesyirikan serta peribadatan kepada berhala.”.

  1. الكذب والفسق والكفر واللغو والباطل

“Mengatakan perkataan-perkataan dusta, melakukan pekerjaan orang-orang fasik, melakukan kekufuran, pekerjaan sia-sia dan kebathilan.”.

  1. اللغو والغناء

“Melakukan perbuatan sia-sia dan melantunkan nyayian[3] (yang diiringi dengan alat music).”.

  1. أعياد المشركين

“Turut menghadiri dan menyanksikan perayaan hari besar orang-orang musyrik.”.

  1. شرب الخمر

“Turut menyaksiakan dan menghadiri tempat-tempat minum khamar.”.

  1. شهادة الزور وهي الكذب متعمدا

“Bersaksi palsu.”.

C. Firman Allah ta’ala, surah Lukman; 6

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيَضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ(6)

Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna hingga ia sesat dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.

Penjelasan ayat

Huruf “ya”, pada firman Allah ta’ala; “ليضل”, dalam sebuah jenis qiraat dibaca fathah dan dalam jenis qiraat lain dibaca dhammah[4];

*) Bila dibaca fathah, maka huruf “lam” pada kalimat tersebut berarti akibat atau dampak, yaitu; bahwa sebagian manusia ada golongan orang yang memilih perkataan yang tidak berguna hingga sesatlah ia dari jalan Allah ta’ala tanpa ia sadari. Demikianlah dampak atau akibat yang timbul akibat perbuatan mereka itu.

*) Adapun bila huruf “ya” dibaca dengan dhammah, maka huruf “lam” pada kalimat tersebut berarti untuk atau tujuan, yaitu; bahwa sebagian manusia ada golongan orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna dengan tujuan untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah ta’ala tanpa pengetahuan; dan sesungguhnya barangsiapa yang menyesatkan orang lain, sungguh ia-pun telah sesat.

Tafsir ayat sehubungan dengan bahasan[5];

  1. Ibnu Mas’ud tberkata, menafsirkan firman Allah ta’ala; “perkataan yang tidak berguna”:

هو والله الغناء

“Demi Allah ta’ala, maksud firman-Nya itu adalah nyanyian (yang diiringi dengan alat music).”. Pendapat yang serupa dinyatakan pula oleh Ibnu ‘Abbas, Jabir, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Mujahid, dan lain-lain.

  1. Adh-dhahaak vberkata;

الشرك Yang dimaksud dengan “ perkataan yang tidak berguna” adalah syirik

D. Firman Allah ta’ala, surah An-najm; 59-61

أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ(59) وَتَضْحَكُونَ وَلَا تَبْكُونَ(60) وَأَنْتُمْ سَامِدُونَ(61) فَاسْجُدُوا لِلَّهِ وَاعْبُدُوا(62)

Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini (Al-qur’an)?. Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis?. Sedang kamu melengahkan (nya)?. Maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia).

Tafsir ayat sehubungan dengan bahasan[6];

Sebagian ulama tafsir mengatakan bahwa pengertian kata “saamiduun” dalam ayat adalah lalai dan berpaling dengan sombong.

Adapula yang mengartikan kata “saamiduun” dengan pengertian “menyanyi (dengan iringan music)”; mereka (orang-orang kafir) mengalihkan perhatian orang-orang dari Al-qur’an dengan menyanyi. Diantara ulama yang menafsirkannya dengan pengertian ini adalah Ibnu Abbash.

Kesimpulan

Dari seluruh ayat yang telah dibawakan, disimpulkan bahwa Allah ta’ala mengharamkan kepada seluruh manusia segala hal yang dapat melalaikan seseorang dari Allah ta’ala dan Al-qur’an. Diantara yang masuk dalam kategori ini adalah syirik, persaksian palsu, nyanyian dengan alat musik, dan seluruh perkataan-perkataan maksiat yang lainnya.

Seluruh penafsiran yang telah disebutkan adalah penafsiran yang berupa pemaparan contoh. Olehnya, meskipun berbeda, namun perbedaan tersebut tidaklah menjadi cela akan keabsahan dan kebenarannya; karena sifatnya tidak saling bertentangan.

Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda ….      

A. Hadits Abu ‘Amir atau Abu Malik al Asy’arit, dari Rasulullah r;

لَيَكُونَنَّمِنْأُمَّتِيأَقْوَامٌ،يَسْتَحِلُّونَالحِرَوَالحَرِيرَ،وَالخَمْرَوَالمَعَازِفَ،وَلَيَنْزِلَنَّأَقْوَامٌإِلَىجَنْبِعَلَمٍ،يَرُوحُعَلَيْهِمْبِسَارِحَةٍلَهُمْ،يَأْتِيهِمْ – يَعْنِيالفَقِيرَ – لِحَاجَةٍفَيَقُولُونَ: ارْجِعْإِلَيْنَاغَدًا،فَيُبَيِّتُهُمُاللَّهُ،وَيَضَعُالعَلَمَ،وَيَمْسَخُآخَرِينَقِرَدَةًوَخَنَازِيرَإِلَىيَوْمِالقِيَامَة.

“Sungguh akan tiba sebuah masa; beberapa kaum dari ummatku menganggap perzinahan, memakai kain sutrah, minum khamar dan musik adalah hal-hal yang boleh bagi mereka. Sungguh -ketika itu- akan ada beberapa kaum yang bermukim pada sebuah daerah pegunungan, datang kepada mereka beberapa pengembala dengan membawa hewan-hewan gembalanya untuk sebuah keperluan. Lantas para penghuni daerah tersebut berkata; kembalilah besok!. Namun pada malam harinya, Allah ta’ala akan benar-benar menghancurkan para penghuni daerah pegunungan itu, dan menimpakan gunung di atas mereka, serta mengubah orang-orang yang masih tersisa dari mereka menjadi kera dan babi sampai tiba hari kiamat.”[7].

Tuduhan dan bantahan …[8]

Hadits ini diriwayatkan oleh imam Al-bukhari di dalam “Shahih”-nya, Beliau berkata; “Hisyam bin ‘Ammar berkata”, lantas Beliau melanjutkan sanad hadits ini hingga ke Abu Amir -atau Abi Malik- Al-asy’ari.

Beberapa orang yang menolak hadits ini berargumen bahwa imam Bukhari tidak mendengar hadits ini langsung dari Hisyam bin ‘Ammar. Dengan demikian –menurut mereka- sanad hadits ini terputus; antara imam Al-bukhari dan Hisyam bin ‘Ammar. Olehnya, hadits ini tidak boleh dijadikan dalil untuk mengharamkan nyanyian dan musik.

Namun argument ini tidaklah benar karena beberapa alasan, diantaranya;

  1. Hisyam bin ‘Ammar adalah seorang yang masuk dalam jajaran guru imam Al-bukhari, Beliaubertemu dengannya serta memasukkannya dalam jajaran guru-gurunya yang Beliau cantumkan beberapa haditsnya di dalam kitab shahih-nya. Karenanya, tidak benar tuduhan seorang bahwa hadits ini adalah hadits munqathi’e (terputus jalur sanadnya). Beberapa hal yang memperkuat hal ini adalah;

*) Imam Bukhari bukanlah seorang yang dikenal sebagai pen-tadlis (meriwayatkan sebuah hadits yang tidak didengarnya secara langsung dari sumber yang meriwayatkan).

*) Beberapa imam lain telah meriwayatkan hadits ini dengan sanad yang bersambung dari Hisyam bin ’Ammarv. Diantaranya adalah;

  1. Berkata imam Ibnu Hibban di dalam shahih-nya; “Al-husain bin Abdullah Al-qaththaan telah mengkabarkan kepada kami”. Beliau berkata; “Hisyam bin ‘Ammar telah mengkhabarkan kepada kami”.
  2. Berkata imam Ath-thabraani di dalam Al-mu’jam Al-kabir; “Musa bin Sahl Al-juni Al-bashri telah mengkabarkan kepada kami”. Beliau berkata; “Hisyam bin ‘Ammar telah mengkhabarkan kepada kami”.
  3. Hisyam bin ‘Ammar tidak bersendirian dalam meriwayatkan hadits ini dari Abu Amir atau Abu Malik Al-asy’ari. Namun hadits ini telah pula diriwayatkan oleh Abdul Rahman bin Yazid bin Jabir dari Abu Amir atau Abu Malik Al-asy’ari secara marfu’ (bersambung hingga ke Rasulullah r).

Selain hal yang telah dipaparkan tadi, ulama –juga- telah sepakat menyatakan keabsahan seluruh hadits yang terdapat dalam shahih Al-bukhari, dan bahwasanya kitab Beliau itu merupakan sumber rujukan ke-2 setelah Al-qur’an.

B. Hadits Abu Hurairah t, dari Rasulullah r;

إِذَا اتُّخِذَ الفَيْءُ دُوَلًا، وَالأَمَانَةُ مَغْنَمًا، وَالزَّكَاةُ مَغْرَمًا، وَتُعُلِّمَ لِغَيْرِ الدِّينِ، وَأَطَاعَ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ، وَعَقَّ أُمَّهُ، وَأَدْنَى صَدِيقَهُ، وَأَقْصَى أَبَاهُ، وَظَهَرَتِ الأَصْوَاتُ فِي المَسَاجِدِ، وَسَادَ القَبِيلَةَ فَاسِقُهُمْ، وَكَانَ زَعِيمُ القَوْمِ أَرْذَلَهُمْ، وَأُكْرِمَ الرَّجُلُ مَخَافَةَ شَرِّهِ، وَظَهَرَتِ القَيْنَاتُ وَالمَعَازِفُ، وَشُرِبَتِ الخُمُورُ، وَلَعَنَ آخِرُ هَذِهِ الأُمَّةِ أَوَّلَهَا، فَلْيَرْتَقِبُوا عِنْدَ ذَلِكَ رِيحًا حَمْرَاءَ، وَزَلْزَلَةً وَخَسْفًا وَمَسْخًا وَقَذْفًا وَآيَاتٍ تَتَابَع

“Bilamana harta rampasan perang tidak lagi dibagikan kepada orang-orang yang berperang, namun dikuasai oleh negara; amanah dimanfaatkan secara tidak benar; zakat telah dianggap sebagai sebuah beban yang merugikan; ilmu dipelajari tidak untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala; seorang lelaki taat kepada istrinya dengan mendurhakai ibunya; berbuat baik kepada temannya dan berlaku kasar terhadap bapaknya; banyak suara (yang dimurkai) disuarakan di masjid; sebuah kaum dipimpin oleh seorang fasik dan hina; seorang lelaki dimuliakan -semata- karena ia ditakuti; bermunculan biduwanita-biduwanita; alat-alat musik semakin banyak dimainkan; orang-orang telah menjadikan khamar sebagai minumannya; ummat yang datang belakangan melaknat para pendahulu mereka yang shaleh; ketika hal tersebut telah terjadi, tunggulah kedatangan adzab berupa angin merah, gempa bumi, pengubahan rupa dan turunnya hujan batu serta munculnya tanda-tanda kiamat lain secara berturut-turut.”[9].

C. Hadits Imran bin Hushain t, dari Rasulullah r;

يكون في أمتي قذف ومسخ وخسف. قيل؛ يا رسول الله ! و متى ذاك ؟!. قال؛ إذا ظهرت المعازف وكثرت القيان وشربت الخمور.

“Kelak akan terjadi hujan batu, pengubahan rupa dan gempa bumi. Para sahabat bertanya; kapankah hal tersebut akan terjadi?. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; hal tersebut akan terjadi ketika alat-alat musik telah bermunculan (dipertontonkan); penyanyi-penyanyi wanita sudah semakin banyak; dan khamar telah dianggap sebagai minuman yang halal.”[10].

D. Hadits Anas bin Malik t, dari Rasulullah r;

صوتان ملعونان في الدنيا والآخرة؛ مزمار عند نعمة ورنة عند مصيبة

“Dua buah suara yang terlaknat di dunia dan di akhirat. Kedua suara tersebut adalah; suara seruling tatkala seorang mendapat nikmat dan suara histeris tatkala musibah.”[11].

E. Hadits Abdul Rahman bin ‘Auft, dari Rasulullah r;

إِنَّمَانَهَيْتُعَنِالنَّوْحِعَنْصَوْتَيْنِأَحْمَقَيْنِفَاجِرَيْنِ: صَوْتٌعِنْدَنِعْمَةٍلَعِبٌوَلَهْوٌوَمَزَامِيرُشَيْطَانَ،وَصَوْتٌعِنْدَمُصِيبَةٍخَمْشُوُجُوهٍوَشَقُجُيُوبٍوَرَنَّةُشَيْطَانَ

“Sesungguhnya saya melarang kalian terhadap dua suara yang bodoh lagi dimurkai. Kedua suara itu adalah; suara yang diiringi dengan musik, berlaku sia-sia, bermain-main dan seruling syaithan; serta suara tatkala tertimpa musibah, memukul wajah, merobek-robek pakaian dan suara syaithan.”[12].

F. Hadits Ibnu ‘Abbas h, dari Rasulullah r;

“إناللهحَرَّمعليّ”،أو “حَرَّمالخَمرَوالميسرَوالكُوبة،وكلُّمسكرٍحرام”

“Sesungguhnya Allah ta’ala mengharamkan atasku beberapa perkara, yaitu; khamar, judi dan gendang. Allah ta’ala-pun menyatakan; seluruh yang memabukkan adalah haram.”[13].

Demikian beberapa keterangan dari Rasulullah rberkenaan dengan bahasan ini, yang tentu sebagai penafsir dan sekaligus menjadi penegas terhadap pengharaman musik yang disebutkan dalam serangkaian ayat terdahulu. Lantas bagaimana pendapat para ulama terhadap musik ?!.

Ulama berkata …

  1. Abu ath-thayyib Ath-thabarivberkata;

كان أبو حنيفة يكره الغناء ويجعل سماع الغناء من الذنوب.

“Abu Hanifah adalah seorang yang benci terhadap lagu. Beliau mengatakan bahwa mendengar nyanyian adalah merupakan perbuatan dosa.”[14].

  1. Ishak bin Isa Ath-thabba’ vberkata;

سَأَلْتُمَالِكَبْنَأَنَسٍعَمَّايَتَرَخَّصُفِيهِأَهْلُالْمَدِينَةِمِنَالْغِنَاءِ؟فَقَالَ: «إِنَّمَايَفْعَلُهُعِنْدَنَاالْفُسَّاقُ»

“Pernah saya bertanya kepada imam Malik tentang nyanyian, yang oleh penduduk Medinah dinyatakan sebagai sebuah hal yang mendapat dispensasi hukum. Beliau berkata; (tidak benar), tiada seorang pun yang melakukannya diantara kami melainkan orang-orang fasik.”[15].

  1. Imam asy-Syafi’ie vberkata;

تَرَكْتُفِيالْعِرَاقِشَيْئًايُقَالُلَهُالتَّغْبِيرُأَحْدَثَهُالزَّنَادِقَةُ،يَصُدُّونَبِهِالنَّاسَعَنِالْقُرْآنِ

“Saya telah tinggalkan Irak dengan sebuah hal baru yang diada-adakan oleh kaum zinddiq (orang-orang sesat yang beragama dengan akal dan perasaan), yang dinamakan “At-taghbir” (memukul-mukul kayu sebagai iringan dari beberapa lantunan syair yang mereka ucapkan). Dengan kebiasaan baru tersebut, mereka (berusaha) menghalangi manusia dari al-Qur’an.”[16]. Di tempat lain Beliau berkata;

إن الغناء لهو مكروه يشبه الباطل ومن استكثر منه فهو سفيه ترد شهادته

“Sesungguhnya nyanyian itu adalah perbuatan sia-sia yang dibenci, sama dengan sebuah kebathilan. Barangsiapa yang banyak melakukannya, mereka itu adalah orang-orang yang dangkal otaknya (safiih), tidak diterima persaksiannya.”[17].

  1. Abdullah bin Ahmad (anak imam Ahmad) pernah bertanya kepada ayahnya tentang hukum nyanyian. Beliau berkata;

الْغِنَاءُيُنْبِتُالنِّفَاقَفِيالْقَلْبِ،لَايُعْجِبُنِي

“Lagu itu akan menumbuhkan sifat nifak di dalam hati, saya tidak menyenanginya.”[18]. Abi Al-harits berkata;

سَأَلْتُأَبَاعَبْدِاللَّهِ: مَاتَرَىفِيالتَّغْبِيرِأَنَّهُيُرَقِّقُالْقَلْبَ؟فَقَالَ: «بِدْعَةٌ»

“Saya pernah bertanya kepada Abu Abdillah (imam Ahmad) tentang anggapan yang menyatakan bahwa “At-taghbir” (memukul-mukul kayu sebagai iringan dari beberapa lantunan doa atau hikmah yang diucapkan dan diyakini sebagai salah satu bentuk ibadah ) adalah sesuatu yang dapat melunakkan hati yang keras. Beliau berkata; hal itu adalah bid’ah.”[19].

Adakah Pendapat Lain ?

Seluruh keterangan yang telah disebutkan menguatkan pendapat mayorits ulama yang mengharamkan lagu yang diiringi dengan musik.

Adapula beberapa ulama yang bersebrangan dengan pendapat mereka. Diantara dalil mereka adalah;

  1. Asal dari segala hukum yang berkenaan dengan keduniaan adalah mubah selama belum ada dalil pelarangan yang benar dan tegas.
  2. Hadits Aisyahh;

دخل علي رسول الله صلى الله عليه و سلم وعندي جاريتان تغنيان بغناء الأنصار يوم بعاث [وليستا بمغنيتين] فاضطجع على الفراش وحول وجهه ودخل أبو بكر فانتهرني وقال؛ مزمارة الشيطان عند رسول الله صلى الله عليه و سلم [مرتين] ؟!. فأقبل عليه رسول الله صلى الله عليه و سلم, فقال؛ دعهما, [ يا أبا بكر!, فإن لكل قوم عيدا, وهذا عيدنا].

“Pernah Rasulullah rmasuk menemuiku sedangkan dua orang budak wanita yang masih kecil tengah mendendangkan lagu dari kaum Anshar pada hari Bu’ats (dan keduanya bukanlah penyanyi). Ketika itu, Rasulullah r-lantas- berbaring di atas pembaringannya dengan memalingkan wajahnya dari kedua budak wanita yang tengah bernyanyi itu. Tidak berapa lama, masuklah Abu bakar, yang langsung menghardikku dan berkata; “Pantaskah seruling syaithan berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”, Beliau mengulanginya dua kali. Mendengar hal itu, Rasulullah rmembalikkan tubuhnya, dan berkata; “Biarkanlah keduanya wahai Abu bakar, sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, dan hari ini adalah hari raya buat kita.”[20].

Mengomentari hadits ini, mereka berkata; hadits ini adalah dalil yang menyatakan pengesahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan bolehnya mendendangkan lagu secara mutlak.

  1. Hadits Ibnu ‘Umarh;

أنه سمع صوت زمارة راع فوضع أصبعيه في أذنيه وعدل راحلته عن الطريق و هو يقول؛ يا نافع أتسمع؟. فأقول؛ نعم. فيمضي, حتى قلت؛ لا, فوضع يديه وأعاد راحلته إلى الطريق, وقال؛ رأيت رسول الله صلى الله عليه و سلم سمع زمارة راع فصنع مثل هذا.

“Pernah Ibnu Umar berjalan bersama Nafi’e. Ketika itu Beliau mendengar suara seruling seorang pengembala; lantas Beliau menutup kedua telinganya dengan jari-jari tangannya dan menjauhkan tunggangannya dari jalan. Beliau berkata; wahai Nafi’e, apakah engkau masih mendengarnya?. Nafi’e berkata; ya. Kemudian Beliau melanjutkan perjalanannya dengan terus menutup telinganya; hingga kemudian Nafi’e berkata; saya tidak lagi mendengarnya. Barulah ketika itu, Beliau membalikkan tunggangannya ke jalan yang dilintasinya tadi. Setelahnya Beliau berkata; demikianlah saya pernah menyaksikan perbuatan Rasulullah rketika mendengar suara seruling seorang pengembala.”.

Menurut mereka; hadits ini sekali lagi merupakan dalil dibolehkannya musik. Seandainya musik itu adalah sebuah hal yang diharamkan, niscaya Ibnu Umar akan pula menyuruh Nafi’e melakukan hal serupa yang ia lakukan; sebagaimana Rasulullah rpun tidak akan membiarkan Ibnu Umar mendengarkan suara seruling itu.

Kesimpulan

Dari serangkaian dalil yang telah disebutkan, sampailah mereka pada sebuah kesimpulan yang menyatakan bahwa musik dan lagu adalah sebuah hal yang dibolehkan; dan suara-suara tersebut tidak ubahnya seperti suara burung-burung yang berkicau, ombak yang bergemuruh dan tetes-tetes air yang jatuh di atas bebatuan; adakah seluruh suara yang indah itu diharamkan ?!.

Jawaban …

Seluruh dalil yang telah digunakan untuk menyatakan kebolehan lagu dan musik dapat dijawab dengan beberapa jawaban sebagai berikut;

  1. Pernyataan bahwa hukum asal dari segala sesuatu berkaitan dengan urusan keduniaan adalah boleh selama tidak ada dalil shahih lagi jelas yang melarang hal tersebut adalah pernyataan yang benar. Karenanya telah disebutkan serentetan dalil dari al-Qur’an, hadits dan perkataan para ulama; berkenaan dengan hukum lagu dan musik. Olehnya, pertanyaan pun dibalikkan;

Mampukah anda menjawab seluruh dalil yang telah dikemukakan oleh mayoritas ulama tentang keharaman lagu dan musik?

Lantas, bagaimanakah dengan orang-orang yang menjadikan musik dan lagu sebagai rangkaian dari ibadah yang dengannya mereka mendekatkan diri kepada Allah ta’ala; adakah mereka memiliki dalil sebagai pegangan; bukankah kaidah yang berlaku pada perkara ibadah adalah kebalikan dari kaidah yang berlaku pada perkara keduniaan ?!.

  1. Adapun hadits Aisyah yang dijadikan sandaran oleh orang-orang yang membolehkan musik dan lagu, justru hadits tersebut adalah salah satu dalil yang digunakan oleh mayoritas ulama untuk menyatakan keharaman musik dan lagu. Bagaimana penjelasannya ?!.

Setelah menyimak dan memahami hadits Aisyah hyang telah dipaparkan, muncul beberapa pertanyaan;

Pernyataan Abu bakart, bahwa syair yang didendangkan oleh kedua budak wanita yang masih kecil itu adalah “seruling syaithan”; adakah pernyataan Beliau yang begitu keras ini -hanya sekedar- berasal dari akal-akalan Beliau belaka ataukah pernyataan Beliau ini timbul dari ilmu yang telah tertanam di dalam diri Beliau -sebelumnya- ?!.

Mungkinkah seorang Abu Bakar t, akan begitu mudahnya -tanpa kontrol- menyatakan sesuatu yang pada asalnya mubah sebagai sesuatu yang diharamkan, bahkan dengan mensifatkannya dengan seburuk-buruknya sifat “seruling syaithan”; jika hal tersebut bukan berasal dari ilmu ?!.

Hal apakah yang diingkari oleh Rasulullah rdari perbuatan Abu Bakar; apakah pengingkaran tersebut tertuju pada pernyataan Beliau -bahwa suara music itu adalah seruling syaithan- atau pada perbuatan Beliau yang melarang kedua budak wanita itu mendendangkan syair ?!. Jawabannya adalah yang kedua.

Mengapa Rasulullah rmenyuruh Beliau untuk membiarkan kedua budak wanita yang masih kecil tersebut terus bernyanyi ?!. Jawabannya adalah Rasulullah rmembiarkan keduanya untuk terus bernyanyi karena hari itu adalah hari raya kaum muslimin.

Bagaimana jika hari itu bukan hari raya ?!. Disebutkan dalam sebuah kaidah ushul; “Hukum sebuah perbuatan akan senantiasa berjalan beriringan dengan sebabnya. Manakala sebab hukum tersebut ada, maka berlakulah hukumnya. Namun bila sebab hukum itu lenyap, maka batallah hukumnya”.

Bertolak dari kaidah ini diketahui bahwa sebab dibolehkannya kedua budak wanita tersebut untuk terus bernyanyi karena hari itu adalah hari raya kaum muslimin. Olehnya, jika sebab tersebut telah lenyap dengan berlalunya hari raya; maka dengan sendirinya gugurlah kebolehan itu dan beralih kepada hukum dasar, yaitu; haram, sebagaimana telah dipaparkan dalil-dalilnya.

Apakah dua orang yang bernyanyi itu adalah penyanyi yang cantik rupawan memikat hati orang-orang yang mendengarnya ?. Jawabannya adalah tidak demikian. Dua orang tersebut tidak lain adalah dua orang wanita budak yang masih kecil, yang tidaklah berprofesi sebagai penyanyi. Lantas bagaimanakah jika yang mendendangkan lagu itu seorang wanita merdeka, cantik dan belia. Ia mendendangkannya pada sebuah konser yang dihadiri oleh beribu-ribu lelaki yang bukan mahramnya. Ia mendendangkannya dengan mengenakan busana yang sungguh menawan, ditaburi wewangian yang semerbak ?!.

  1. Adapun hadits Ibnu Umar, maka tidaklah tindakan Beliau yang tidak memerintahkan Nafi’e untuk menutup telinga sebagaimana Beliau menutup telinga, -tidaklah tindakan tersebut- merupakan lisensi dari Beliau kepada Nafi’e untuk mendengar musik.

Hal yang perlu diketahui bahwa terdapat perbedaan antara seorang yang sengaja mendengarkan dengan seorang yang tidak bermaksud untuk mendengar; sebagaimana terdapat perbedaan antara seorang yang sengaja melihat sesuatu yang diharamkan dengan seorang yang tidak sengaja melihatnya. Hukum keharaman itu hanyalah berlaku bagi seorang yang sengaja mendengarkan musik. Andai saja Ibnu Umar tidak menutup telinganya pada saat itu, niscaya hal tersebut tidaklah mengapa. Hanya saja Ibnu Umar hendak melakukan sesuatu yang lebih utama, sebagaimana contoh yang pernah Beliau saksikan dari Rasulullahr.

Maka ditanyakan kepada seorang yang menjadikan hadits ini sebagai dalil untuk membolehkan musik; “Bukankah lebih baik baginya mengikuti contoh yang dituntunkan oleh Rasulullah r, dengan menutup telinganya; dari pada menjerumuskan diri pada sebuah hal yang -paling tidak- tergolong syubhat ?!.”

Kesimpulan

Jika serangkaian jawaban di atas telah dipahami, maka tidak lagi tersisa celah bagi orang-orang yang ingin menyelisihi kebenaran dengan menempuh jalan kesesatan, sebagaimana pernyataan imam Malik tatkala ditanya tentang hukum nyanyian ?!. Beliau menjawab dengan membaca firman Allah ta’ala;

{فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلَّا الضَّلَالُ} [يونس: 32]

“Maka adakah sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan ?!. Beliau berkata; apakah nyanyian itu merupakan sebuah kebenaran ?!.”.

Adapun qiyas yang dilakukan antara nyanyian yang diiringi alat musik dengan suara-suara alam; maka cukuplah dikatakan; “Qiyas tidak berlaku jika dalil telah tetap”, dan selebihnya -insya Allah ta’ala- akan lebih dipahami pada pembahasan tentang hikmah diharamkannya lagu dan musik pada akhir bahasan ini –in sya Allah-.

Lagu Tanpa Musik …[21]

Setelah mengetahui hukum asal nyanyian yang disertai alat musik menurut tinjauan syari’at, maka bagaimanakah hukum nyanyian yang tidak diiringi dengan alat musik ?!.

Untuk menjawabnya, hal yang terlebih dahulu harus diketahui bahwa nyanyian atau lagu yang dalam bahasa Arab disebut “ Al-ghina’ ” adalah sebuah kebiasaan orang-orang Arab -secara umum- dalam membawakan syair-syair mereka. Rasulullah r pernah ditanya tentang syair, maka Beliau bersabda;

هُوَكَلَامٌ ؛فَحَسَنُهُحَسَنٌوَقَبِيحُهُقَبِيحٌ

“Syair itu (tidak ubahnya seperti) perkataan biasa. Kalau muatannya baik, maka syair itu baik. Tetapi jika buruk, maka syair itu buruk.”[22].

Ketika itu, mereka membawakan syair-syair tersebut dengan suara nyaring, dengan menyesuaikan -secara alami- tinggi rendahnya suara mereka menurut arti dari syair-syair itu, dan menyesuaikan akhiran-akhiran bunyi dari setiap bait dari syair yang mereka bawakan. Hal inilah yang kiranya merupakan maksud dari sabda Rasulullah r;

لَيْسَمِنَّامَنْلَمْيَتَغَنَّبِالقُرْآنِ

“Bukan dari golongan kami orang-orang yang tidak melagukan Al-qur’an, yaitu; membawakannya dengan suara bagus, sesuai dengan hukum tajwid dan membacanya sesuai dengan alur arti dari ayat-ayat tersebut.”[23].[24]

Jika hal ini telah diketahui, maka hukum melantunkan syair pada asalnya adalah sebuah hal mubah yang boleh saja dilakukan dengan memperhatikan beberapa syarat, yaitu;

  1. Isi dari syair tersebut bukanlah merupakan hal yang diharamkan dalam agama.
  2. Tidak diiringi dengan alat musik.
  3. Tidak dijadikan sebuah rutinitas -terlebih- sebuah profesi yang akan membuat seseorang lalai dari Al-qur’an.
  4. Tidak membuat seseorang terbawa alur perasaan hingga ia melakukan hal-hal yang dapat meruntuhkan wibawanya, misalnya dengan menggerak-gerakkan kepala, tangan atau yang lainnya.

Bila hal ini telah dipahami, bagaimana dengan nasyid islami ?!

Nasyid Islami

Nasyid islami -pada hakikatnya- adalah “ Al-ghina’ ” sebagaimana yang dipahami oleh orang-orang Arab pada zaman dahulu -sebagaiman telah dijelaskan sebelumnya-. Dengan demikian, maka hukum asal dari hal tersebut adalah boleh (mubah) dengan beberapa ketentuan yang telah disebutkan.

Hanya saja, pada masa ini orang-orang telah menjadikan nasyid sebagai sesuatu yang sangat digandrungi dan ditekuni, lebih dari kegandrungan mereka terhadap Al-qur’an. Belum lagi, bahwa ternyata hal ini telah menjadi sebuah profesi. Disamping itu, beberapa kaum muslimin -bahkan- meyakininya sebagai sebuah bentuk ibadah; mengiringi doa dan wirid-wirid mereka. Keadaan ini diperburuk lagi dengan digandengkannya nasyid tersebut dengan musik, lantas dinamakan nasyid islami, -padahal- islam berlepas diri sejauh-jauhnya dari lagu yang diiringi musik.

Seluruh yang telah disebutkan -tentulah- seharusnya menjadikan seorang muslim lebih berhati-hati dan waspada agar tidak terjebak dalam hal-hal yang dimurkai oleh Allah, berlabel ke-taat- an atau halal (mubah).

Selain itu, ada juga sanggahan para ulama berkenaan dengan penggadengan kata “islami” dengan kata “nasyid”. Penggadengan ini selayaknya ditinjau ulang. Karena hukum asal dari nasyid adalah mubah, layaknya pekerjaan-pekerjaan lain yang sifatnya mubah, seperti lomba lari, sepak bola, dan yang semisalnya. Maka sebagaimana pekerjaan-pekerjaan mubah tersebut tidak disifatkan “islami” –tidak dikatakan lomba lari islami, sepak bola islami-, pun demikian seharusnya kita tidak perlu mengatakan nasyid islami.

Waktu-Waktu Boleh Mendengar Musik

Setelah menelaah pemaparan sebelumnya, dan telah dipahami bahwa hukum asal mendengar seluruh alat musik adalah haram -kecuali memainkan rebana pada saat pernikahan dan pada hari i’ed-, tersisa sebuah pertanyaan; “Adakah waktu-waktu lain,     -ketika- itu diberi dispensasi bagi seseorang untuk mendengar rebana?”.

Sebagian ulama ada yang berpendapat boleh memainkan dan mendengar rebana pada saat-saat gembira, seperti pada saat khitanan, menyambut kedatangan seorang yang telah pergi dalam waktu lama dan yang semisalnya.Diantara alasan mereka adalah;

  1. Atsar dari Abu Syu’aib Al-harraani, dengan sanadnya sampai ke Khalid, yang meriwayatkan dari Ibnu Siiriin, dari Umar bin Al-khaththaab;

كان إذا سمع صوت الدف سأل عنه؟؛ فإن قالوا؛ عرس أو ختان سكت

“Beliau adalah seorang yang bila mendengar suara rebana, -segera- akan bertanya?. Jika mereka berkata; rebana tersebut dipukul karena adanya walimah (pernikahan) atau acara khitanan, maka Beliau diam.”[25].

  1. Hadits Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, Beliau berkata;

أن أمة سوداء أتت رسول الله صلى الله عليه و سلم -ورجع من بعض مغازيه- فقالت؛ إني كنت نذرت إن ردك الله صالحا أن أضرب عندك بالدف [و أتغنى]. قال؛ إن كنت فعلت [نذرتي] فافعلي, وإن كنت لم تفعلي فلا تفعلي.

“Pernah seorang budak wanita hitam mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam -ketika Beliau telah kembali dari sebuah peperangan-. Budak wanita itu berkata; dahulu saya bernadzar; jika Allah ta’ala mengembalikanmu dalam keadaan selamat, niscaya saya akan memukul rebana dan melagukan beberapa bait sya’ir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; jika -benar- engkau telah bernadzar, maka lakukanlah nadzar tersebut. Namun jika engkau belum bernadzar, maka janganlah engkau melakukannya.”[26].

Disamping itu, ada pula beberapa ulama yang tidak memandang boleh memukul rebana meski pada keadaan-keadaan yang dikecualikan sebagaimana telah disebutkan, berdasarkan keumuman hadits-hadits yang berisi larangan bermain musik secara umum[27]. Mereka berkata;

  1. Adapun atsar dari Abu Syu’aib Al-harraani, maka atsar itu adalah atsar yang terputus jalan periwayatannya, karena sesungguhnya Ibnu Siiriin tidaklah pernah berjumpa dengan Umar bin Al-khaththab; Beliau lahir sekitar 10 tahun setelah kematian Umar.
  2. Sedangkan hadits Abdullah bin Buraidah, maka hadits tersebut tidaklah boleh dijadikan dasar dalam penetapan bolehnya -secara mutlak- memainkan rebana untuk mengungkapkan rasa gembira akan kedatangan seseorang. Hadits tersebut tidak lain memuat kejadian orang per orang (waqi’atu ‘ain), yang menunjukkan bahwa kebolehan tersebut hanya berlaku untuk mengungkapkan kegembiraan bagi kedatangan Rasulullah rdi waktu itu, tidak bagi yang selainnya. Hal ini bisa dimaklumi mengingat bahwa tiada sebuah kegembiraan-pun melebihi kegembiraan akan tibanya Rasulullah rdari medan jihad dalam keadaan selamat. Karenanya, hadits ini tidaklah boleh diberlakukan secara umum, terlebih bahwa hadits tersebut bertolak belakang dengan hukum asal memainkan dan mendengar musik sebagaimana dalil-dalil yang telah dipaparakan.

Hikmah Diharamkannya Lagu Dan Musik

Berbicara tentang hikmah terhadap segala kebijakan yang telah ditetapkan oleh Allah ta’ala dan rasul-Nya, maka aqidah kaum muslimin adalah percaya bahwa Allah ta’ala adalah Zat Yang Maha Hikmah dalam segala kebijakan-Nya; baik hikmah tersebut diketahui ataupun tidak diketahui. Bila sebuah dalil telah nampak dengan keabsahan yang tidak lagi diragukan, maka komitmen kaum muslimin hanya satu, yang tergambar dari pernyataannya; “Kami dengar dan kami taat”. Allah ta’ala berfirman;

فلا وربك لايؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم ثم لا يجدوا في أنفسم حرجا مما قضيت ويسلموا تسليما

“Maka demi Tuhanmu, mereka  tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”. (An-nisaa’; 65)

Bila sebuah dalil telah nampak dengan keabsahan yang tidak lagi diragukan, maka kekhawatiran sangat besar tertuju kepada orang-orang yang menyelisihinya; jangan-jangan dengan kekerasan hatinya itu, Allah ta’ala akan menimpakan baginya sebuah fitnah; atau jangan-jangan dengan kekerasan hatinya itu, Allah ta’ala akan membiarkannya larut dalam kemaksiatannya hingga pada akhirnya ia menutup lembaran hidupnya dengan sebuah perbuatan yang tidak diridhai oleh-Nya. Allah ta’ala berfirman;

{فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ} [النور: 63]

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.”. (An-nuur; 63)

{وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا} [النساء: 115]

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu  dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”. (An-nisaa’; 115)

Jika demikian, maka sebaik-baik dokter bagi jiwa seorang mukmin adalah Zat Yang telah menciptakannya dan menciptakan seluruh alam raya. Resep terjitu yang Ia berikan kepada orang-orang kesayangan-Nya adalah;

{يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ} [يونس: 57]

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit  dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.”. (Yunus; 57)

{وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا} [الإسراء: 82]

“Dan Kami turunkan dari Al Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.”. (Al-israa’; 82)

{الم (1) تِلْكَ آيَاتُ الْكِتَابِ الْحَكِيمِ (2) هُدًى وَرَحْمَةً لِلْمُحْسِنِينَ (3) الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ بِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ (4) أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (5)} [لقمان: 1 – 5]

“Alif Laam Miim. Inilah ayat-ayat Al Quraan yang mengandung hikmat, menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan. Mereka itu adalah orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat dan  mereka yakin akan adanya negeri akhirat. Mereka itulah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”. (Lukman; 1-5)

Demikianlah keadaan orang-orang beriman; orang-orang yang berbuat kebaikan; dan orang-orang yang menjadikan Al-qur’an sebagai obat penawar bagi hati-hatinya. Adapun bagi orang-orang yang berpaling dari obat tersebut, lantas memilih musik dan lagu sebagai penyejuk hatinya tatkala gundah, maka akhir penghujung mereka adalah;

{وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِين} [لقمان: 6]

“Dan di antara manusia ada orang  yang  mempergunakan  perkataan  yang tidak  berguna  hingga ia sesat dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu  akan memperoleh azab yang menghinakan.”. (Lukman; 6). Empat orang pemuka ulama salaf; Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud, ‘Ikrimah dan Mujahid, berkata; bahwa maksud dari “Perkataan yang tidak berguna” adalah nyanyian dan musik. Ibnu Mas’ud berkata;

الغناء ينبت النفاق في القلب

“Lagu (dan musik) akan menumbuhkan sifat nifak di dalam hati.”.

Demikianlah fitnah yang akan Allah lekatkan ke dalam hati orang-orang yang sengaja mendengarkan musik, hingga tidak heran jika orang-orang tersebut dengan suka hati bahkan dengan pengorbanan yang begitu besar akan berupaya menyaksikan artis pujaannya; ia berteriak histeris; ia memeluknya; ia menciumnya; ia pingsan dan akhirnya meninggal terinjak-injak atau tertimpa atap bangunan yang tidak kuat menahan beban dosa dari para penggemar seruling syaithan, yang ternyata juga memadati atap bangunan yang rapuh. Dzhuhair bin Raafi’e t berkata;

نَهَانَارَسُولُاللهِصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَعَنْأَمْرٍكَانَلَنَانَافِعًا،وَطَوَاعِيَةُاللهِوَرَسُولِهِأَنْفَعُلَنَا

“Rasulullah r telah melarang kami untuk melakukan sesuatu yang sesungguhnya memiliki nilai manfaat bagi kami, (dan kami taat kepada Beliau, karena kami sadar bahwa) taat kepada Allah dan Rasul-Nya akan lebih memberi manfaat.”[28].

Pada akhirnya, … taat kepada Rabb, mengharap pahala yang besar dan harapan yang kuat agar terhindar dari adzab-Nya; kiranya inilah hikmah terbesar dari keikhlasan dan kesungguhan seorang muslim untuk menjauhkan dirinya dari hal yang dimurkai Allah.

Semoga Allah memberikan petunjuk dan hidayah-Nya kepada penulis dan kepada seluruh kaum muslimin. Wal hamdulillahi Rabbil ‘Aalamiin.

Ditulis oleh: Muhammad Irfan Zein, Lc



[1]Tafsir al Quran al ‘Adzhiim, oleh al Imam Ibnu Katsiir, (5/93)

[2]Tafsir al Quran al ‘Adzhiim, (3/237)

[3]Seluruh keterangan yang berisi celaan terhadap “al ghinaa” asal penunjukannya ditujukan kepada nyanyian yang disertai alat musik. (ceramah dari Syaikh Muhammad bin Hasan Ad Dudu as Syanqithie, https://www.youtube.com/watch?v=SaEsTl1YLhA). Adapun nyanyian yang tidak diiringi dengan alat music, maka bahasannya akan diulas tersendiri dalam risalah ini –wal hamdulillah-.

[4]Fathu al Qadiir, oleh imam As Syaukaani, (4/270)

[5]Tafsir al Quran al ‘Adzhiim, (6/330-331)

[6]Lihat Fathul Qadiir, (5/143) dan Tafsir al Quran al ‘Adzhiim, (7/468)

[7]HR. Bukhari, (7/ 106)

[8]Tahriimu Aalaati at Tharb, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al Baani, hal. 40-42

[9]HR, Tirmidzi, (4/ 495). Lihat juga “al Istiqaamah”, (1/66)

[10]Tahriimu Aalaati at Tharb, hal.63

[11]HR. Al Bazzaar, (14/62)

[12]HR. Al Bazzaar, (3/214)

[13]HR. Ahmad, (3/ 125)

[14]Talbiisu Ibliis, oleh imam Ibnu al Qayyim, hal. 205

[15]Al Amru bil Ma’ruuf wa An Nahyu ‘anil Munkar, oleh al Khallaal, hal. 65

[16]-sda-, hal. 72

[17]Talbiisu Ibliis, hal. 205

[18]Al Amru bil Ma’ruufi wa An Nahyu ‘Anil Munkar, hal. 65

[19]-sda-, hal 71

[20]HR. Bukhari, (2/16)

[21]Tahriimu Aalaati at Tharb, hal. 126-136

[22]HR. Abu Ya’la, (8/200)

[23]HR. Bukhari, (9/154)

[24]Dari hadits ini pula diketahui bahwa makna asal dari kata “al ghinaa” (nyanyian) adalah suara yang indah tanpa diiringi dengan alat musik. Alasannya karena tentu tidak seorangpun akan membacakan al Quran dengan menggunakan alat musik dengan alasan bahwa Rasulullah r bersabda; “Bukan dari golongan kami orang-orang yang tidak melagukan (membacanya dengan ghinaa’)al Quran.”.

[25]Tahriimu Aalaati At Tharb, hal. 121

[26]HR. Ahmad, (38/93)

[27]Tahriimu Aalaati At Tharb, hal. 121-125

[28]HR. Muslim, (3/ 1181)