Takwa adalah kata yang sangat indah didengar dan sangat diimpikan oleh setiap muslim untuk bisa menggapai hakikat dari makna kata tersebut. Betapa tidak, karena kalau kita merujuk ke teks-teks Al Qur’an dan Hadits Nabi, akan kita dapatkan bagiamana spektakulernya nilai-nilai positif dari ketakwaan dan penyandang ketakwaan tersebut. Tidak kurang 250 kali, Allah Azza Wajalla menyebutkan kata tersebut dalam berbagai konteksnya di dalam kitab Nya yang mulia.

Takwa akan mengantarkan penyandangnya kepada tergapainya cinta Allah, yang mana cinta Allah adalah Al Ghoyatul Udzma (tujuan terbesar) dari cita-cita seorang muslim.
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman :

بَلَى مَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ وَاتَّقَى فَإِنَّ اللهَ يُحِبُّ المُتَّقِينَ

“… (bukan demikian), Sebenarnya siapa yang menepati janji dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa” (QS Ali Imran ayat 76)

Takwalah yang akan mengantarkan kepada kenikmatan abadi di surga Allah dan menyelamatkan seorang hamba dari azabnya Allah yang sangat pedih.
Allah Azza Wajalla berfirman :

إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتِ النَّعِيمِ

“Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa (disediakan) syurga-syurga yang penuh kenikmatan di sisi Tuhannya ” (QS. Al-Qolam ayat 34 )
Takwalah yang membuat amalan shaleh diterima oleh Allah Subhanahu Wata’ala.
Allah berfirman :

إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللهُ مِنَ المُتَّقِينَ

“Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa ” (QS Al-Maidah ayat 27 )
Orang-orang shaleh pada zaman dahulu (salaf) sangatlah dalam penghayatan mereka terhadap kandungan ayat ini. Sebagian mereka, diantaranya Abu Darda Radhiyallahu ‘Anhu mengatakan :

لِأَنْ أَسْتَيْقِنَ أَنَّ الله قد تقبل لي صَلَاةً وَاحِدَةً أَحَبُّ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ إِنَّما يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

“Jikalau aku yakin bahwa Allah telah menerima sholatku walaupun satu sholat saja, itu lebih aku sukai daripada mendapatkan dunia seisinya, itu karena Allah menyatakan : “Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa ”.
Takwalah yang mengangkat derajat orang-orang rendah sekalipun untuk mendapatkan predikat hamba termulia di sisi Allah Subhanahu Wata’aala.
Allah Azza Wajalla berfirman :

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kalian” (QS Al-Hujurot ayat 13 )
 
Takwa adalah sebab kebahagiaan dunia akhirat, dimudahkannya urusan, datangnya rizki dan bertambahnya ilmu. Penyandangnya adalah para wali Allah yang dimuliakan dengan berbagai nilai agung lainnya.
 
Berkenaan dengan puasa, Allah Subhanahu Wata’ala menjelaskan bahwa hikmah terbesar dari ibadah mulia tersebut adalah menggapai ketakwaan. Allah yang Maha Bijaksana berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan puasa kepada kalian sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa” (QS Albaqoroh ayat 183)
Jadi, hikmah terbesar dari puasa adalah mendidik kita untuk menjadi pribadi-pribadi yang bertakwa. Karena puasa dengan segala kekhususan dan keistimewaannya mampu mengantarkan seorang menyandang titel mulia tersebut.
Puasa mengantarkan seorang hamba kepada tingginya derajat takwa di lihat dari beberapa sisi. Dalam tafsirnya, Syaikh Abdurrahman As-Sa’die menyebutkan beberapa sisi ini;
Pertama, puasa mengantarkan kepada takwa karena dalam puasa seorang hamba telah melaksanakan perintah Allah berkenaan dengan ibadah tersebut dan menjauhi laranganNya (terkait dengan ibadah puasa yang dilaksanakannya).
Kedua, puasa adalah meninggalkan makan, minum, hubungan suami istri dan sebagainya, yang mana itu adalah hasrat dan keinginan jiwa. Namun orang yang berpuasa meninggalkan itu semua karena ingin dekat kepada Allah dan mengharap pahala dari Nya. Keinginan yang berpadu dengan tindakan kongkrit, itulah yang merupakan hakikat dari nilai ketakwaan.
Ketiga, orang yang sedang berpuasa sejatinya sedang melatih diri untuk menjadi seorang hamba yang merasa terus diawasi oleh Allah Subhanahu Wata’aala. Dia meninggalkan segala yang menjadi hasratnya dengan sebuah kesadaran bahwa Allah selalu mengawasinya. Padahal bisa saja dia mengaku berpuasa, namun sesungguhnya ia makan dan minum secara sembunyi-sembunyi.
Keempat, dengan berpuasa maka aliran darah menjadi lemah, yang dengan itu maka lemah pula keinginan seseorang untuk melakukan maksiat dan perbuatan-perbuatan negatif.
Kelima, dalam hitungan idealnya, orang yang sedang berpuasa ketaatannya akan lebih menungkat. Itu karena suatu amal shaleh akan mendorong terciptanya amal shaleh yang lain.
Keenam, rasa lapar dalam berpuasa menjadikan orang-orang yang berkecukupan turut merasa apa yang dirasakan oleh para fuqoro dan dhuafa, dari rasa ini lahir rasa iba dan kasih sayang kepada mereka, yang mana itu adalah merupakan nilai ketakwaan.
✍ Penulis : Ustadz Abdusshomad Rifai, Lc
Tim Rubrik Kajian Ilmiyah Al Binaa Menyapa